Antara bicara lidah tak bertulang dan deraian airmata, mana satu yang lebih berharga? Bersulam sebuah lakonan penyeri kehidupan dan sebuah kejujuran, bisakah hati yang tak mampu berbicara ini menilai? Diam bukan bererti kalah, berbicara bukan ertinya petah, yang pasti hati tetap didukung lara.
Lancar bicara bukan sebuah ukuran, tapi apakah ia? Penipuan demi penipuan, selindungan demi selindungan, betapa azabnya hati ini menanggung penyiksaan. Hati ini diruntun debaran, hati ini dilanda ketakutan yang tak ada penghujungnya. Setiap hari warnanya silih ganti dilalui, kewarasan hati semakin dirobek,tercarik dan terluka. Berbohong pada hati seperti berbohong pada diri hukumannya seperti merompak seisi maya. Namun degilnya hati ini terus menggengam keegoan diri.
Airmata ini melimpah seperti tiada harganya. Deraian yang tak bisa dihenti umpama kalah pada diri sendiri. Bukankah airmata saksi kejujuran diri, sebutir titisnya ibarat sebuah pengorbanan yang tak terukur sempadannya? Tapi, dimana letaknya kebenaran? Pada bicara lidah yang sering bebohong atau airmata yang menjadi saksi? Mungkin lain padang, lain lalangnya, yang dicari bukan erti pembohongan atau kebenaran tapi kejujuran dan keikhlasan. Keluhan dan penantian yang panjang merupakan kayu ukur kepada pembentukan keperibadian diri.
Kepahitan semalam, lupakan! Hati harus diajar melupakan titik hitam hitam tetapi mengingati kesan yang ditinggalkan. Biarlah hati terus berbohong, airmata tetap bisa menjadi teman setia biarpun tak seorang yang mahu meminjamkan telinganya. Akan hadir saat itu, saat yang tidak bisa kita paksa lagi ini selain dari menzahirkan sebuah pengakuan. Namun, di ketika ini, biarkan cerita itu berlalu dan biarlah hati terus berbohong.
Lancar bicara bukan sebuah ukuran, tapi apakah ia? Penipuan demi penipuan, selindungan demi selindungan, betapa azabnya hati ini menanggung penyiksaan. Hati ini diruntun debaran, hati ini dilanda ketakutan yang tak ada penghujungnya. Setiap hari warnanya silih ganti dilalui, kewarasan hati semakin dirobek,tercarik dan terluka. Berbohong pada hati seperti berbohong pada diri hukumannya seperti merompak seisi maya. Namun degilnya hati ini terus menggengam keegoan diri.
Airmata ini melimpah seperti tiada harganya. Deraian yang tak bisa dihenti umpama kalah pada diri sendiri. Bukankah airmata saksi kejujuran diri, sebutir titisnya ibarat sebuah pengorbanan yang tak terukur sempadannya? Tapi, dimana letaknya kebenaran? Pada bicara lidah yang sering bebohong atau airmata yang menjadi saksi? Mungkin lain padang, lain lalangnya, yang dicari bukan erti pembohongan atau kebenaran tapi kejujuran dan keikhlasan. Keluhan dan penantian yang panjang merupakan kayu ukur kepada pembentukan keperibadian diri.
Kepahitan semalam, lupakan! Hati harus diajar melupakan titik hitam hitam tetapi mengingati kesan yang ditinggalkan. Biarlah hati terus berbohong, airmata tetap bisa menjadi teman setia biarpun tak seorang yang mahu meminjamkan telinganya. Akan hadir saat itu, saat yang tidak bisa kita paksa lagi ini selain dari menzahirkan sebuah pengakuan. Namun, di ketika ini, biarkan cerita itu berlalu dan biarlah hati terus berbohong.
0 comments:
Post a Comment